BELUM pernah kulihat kesedihan diekspresikan begitu total. Sepi dan giris. Telaga penuh nelangsa. Airmata itu telah menjadi laut duka. Genangan kecewa mengkristal. Merubah segalanya menjadi beku. Lumpur liat di lempeng batu!
Tak ada lagi yang netes. Sebab tak ada matahari cukup panas membakar hidup. Membakar gairah untuk ceria. Dingin dan ngelangut. Serba tawar. Gema el-maut begitu marut. Ketika imajinasi telah habis. Saat fantasi dan intuisi raib, menjauh dan seakan menguburi diri. Prahara dunia bertubi-tubi.
Perempuan itu sekarat. Dalam hidup. Dia yang berjalan tanpa ruh, terhisap sudah segar mawarnya oleh dunia. Kebuasan. Tangan yang merampas dan kaki yang menindas. Hati monster penuh metal. Para peri yang banal, menyusupi kaum binal. Lalu membentang jembatan ini. Semakin jauh dan panjang, tak terukur oleh mimpi dan keinginan. Kau lelaki dan kau perempuan, tidak lagi memiliki ruang untuk berteguran, membisikkan tentang hembusan angin pagi ini, bersenda-gurau di beranda, menganalisa betapa lucu wajah manusia.
‘’Ada apa dengan hidup, Perempuan?’’
‘’Tak memiliki hati. Sebab itu dia tak memahami hati. Terlalu kejam ia. Usia kandunganku tiga bulan saat kudengar pacar gelapnya juga mengandung tiga bulan. Seorang penari yang wajahnya terpampang di sebuah majalah terpanas negri ini.’’
‘’Artinya, dia menyetubuhimu bersamaan dengan pasangan gelapnya itu?’’
‘“Artinya juga, tak ada ritual yang sakral dalam kamarku. Sebab itu tak memberi kesan apapun padanya. Selimut hangat itu terlalu biasa baginya. Tetapi aku istrinya dan dia, penari terlanjang itu, apa kedudukan di hatinya, aku tak tahu.’’
‘’Seberapa kau marah padanya, Puan?’’
‘“Seumur hidupku. Aku belum pernah menghianati cinta. Kupikir, aku juga tak memiliki bakat menjadi penghianat. Cintaku sangat sempurna. Alangkah tulus. Dan kau lihat! Dengan entengnya dia menghunuskan penghianatan cinta di ulu hatiku. Aku terkapar! Aku jatuh! Kuiris nadiku dan aku benar-benar sekarat! Sekarat!’’
Masih kulihat bekas luka irisan itu. Tiga garis putih, melintang antara pergelangan. Tepat di atas zona lalu-lintas pergetaran ruh, urat nadi. Perempuan itu nervous. Dhantam kenyataan patologi. Kenyataan dunia yang mengenalkan pada arti kata ‘’tak setia’’. Laki-laki itu, suami perempuan itu, melenceng dari garis fitrah cinta yang lurus. Laki-laki itu senantiasa disangsikan kesucian dan ketulusannya. Ia memiliki seribu wajah pura-pura dan rupa-rupa tipuan. Ia mengantongi ijazah untuk ngibul di pentas rimba raya atas nama kekuasaan. Uang. Rupiah. Dollar. Kartu kredit. Juga menara tanpa cahaya yang berdiri di ujung phallusnya.
‘’Temanku, bukankah secara materi, kehidupanmu lebih dari cukup?’’
‘’Tetapi aku manusia. Aku tak bisa hidup hanya dengan limpahan materi seperti ini. Rumah mewah, jaguar mengkilap dan tiga credit card terselip di dompet. Memang setiap bulan aku pesiar ke manca negara dan pelesir ke pantai-pantai terindah setiap liburan. Tetapi, setiap malam tiba, segalanya menjadi maya.’’
‘’Kulihat dia sangat romantis. Mestinya, ia akan memenuhi malammu dengan pesta dan kebahagiaan.’’
‘’Tidak! Ia telah merampas seluruh malamku dan mencampakkannya ke comberan! Ia yang menyesaki malamku dengan bara api. Mengusung rupa-rupa virus dan menghamburkannya ke ranjangku. Ke atas sajadah sujudku.’’
‘’Aku tak percaya! Bagaimana mungkin! Bukankah ia sangat religius, sopan dan pintar.’’
‘’Ia seorang produser. Ia juga seorang sutradara yang menguasai hampir semua karakter para pemainnya. Ia mampu memerankan ribu-ribu karakter dan aktingnya meyakinkan, layaknya Shah Rukh Khan.’’
‘’Apakah setiap hari ia menjadi pemain yang tengah berakting? Lalu malamnya kembali menjadi manusia? Diri sendiri yang sebenarnya?’’
‘’Kasus itu selalu berulang. Ia tahu benar kapan harus berakting dan kapan menjadi diri sendiri. Ia sangat menguasai perannya, terutama di malam hari. Aku tahu. Aku takut pada belati yang selalu dipinggangnya...’’
Dunia begitu ramai. Dan aku tak sempat lagi untuk berbicara di tengah keramaian cafe malam itu. Di antara pemabuk dan peminum anggur merah. Ia pun pulang ke rumah. Tapi malam, menjelang subuh itu, ia menelponku. Aku pun terbangun dan tergagap dari lelap.
‘’Kirimkan padaku yang terindah dari rahasia, teman. Ruangku begitu sunyi. Ingin kudandani tembok dan pigura hatiku dengan hembusan nafas dari kata-katamu. Puisimu mengalun dan menderu seperti camar melintasi laut biru.’’
‘’Kau suka laut? Besok saja, kukirim yang paling terpendam dari laut. Pelupukku terasa lekat.’’
‘’Boleh. Tapi jangan kerang atau kura-kura. Aku sudah bosan. Aku ingin puisi dari lautanmu?’’
Ia tertawa. Begitu berat. Membuatku malu dan berpikir, apakah pertanyaanku terlalu fakir? Seperti yang tidak pernah berfikir. O musafir! O ikan-ikan. Aku ingin menyelam ke dasar laut yang paling dalam.
‘’Kau membuatku terus berpaling, mengitari sunyi dan maju terus berkeliling, mendaki tiupan seruling di antara lobang-lobang angin yang saling mendering.’’
‘’Apakah itu?’’
‘’Kepurbaan. Seperti ombak dan angin. Seperti lapisan langit yang didiami para malaikat. Seperti rindu pada sesuatu yang terpendam, jauh dari dasarnya yang menjunam... Grackhgh!!!’’
Kudengar gagang telepon jatuh ke meja kaca. Sepertinya ada juga suara lelaki. Giris dan nyeri. Aku tak bisa hanya menduga. Butuh fakta dan saksi untuk lapor ke kantor polisi. Begitu kata jaksa.
Thursday, February 4, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)